top of page

Kota yang Ideal



Oleh Agus Budiawan

Opini Jawa Pos Metropolitan, 25 Februari 2016 

_________________________


DALAM sebuah rubrik Asal Usul di salah satu koran ternama tahun 1997, terdapat anekdot seperti ini:

Konon, para ahli luar angkasa menerima pesan dari makhluk planet lain (sebut saja alien). Mereka ingin melakukan studi banding di bumi. Berbagai pihak, termasuk pejabat, pun berlomba-lomba ingin menjadi sponsor acara.


Singkat cerita, di akhir kunjungan, alien memberikan pujian bertubi-tubi kepada penduduk bumi. Yang memiliki pusat-pusat peradaban, mulai klasik hingga kontemporer. Namun, ada satu hal yang membuat alien merasa ganjil.


’’Apa? Katakan, apa yang ganjil?’’ teriak penduduk bumi hampir serentak.


’’Yang aneh,’’ kata alien, ’’setiap kami berjalan-jalan di tengah-tengah pusat kota metropolitan di malam hari, yang kelihatan hanya pria. Baik di Jakarta, New Delhi, Tokyo, ataupun New York.’’


’’Oh, itu. Pusat-pusat kota kurang aman. Jadi, kebanyakan perempuan dan anak-anak tinggal di rumah,’’ jelas seorang petinggi bumi.


Alien tidak puas dengan jawaban tersebut. ’’Terus terang, kami masih tidak paham. Kalau di planet kami ada binatang buas dan berbahaya bagi umum, yang dikurung adalah binatangnya. Bukan korbannya.’’


***


Itu tahun 1997. Kalau sekarang kembali ke bumi, mungkin para alien tersebut akan heran. Geleng-geleng. Di pusat kota –apalagi Jakarta– mereka bisa dengan muda melihat kelebatan perempuan-perempuan muda. Naik motor. Berbonceng tiga. Malam-malam buta. Makhluk bumi menyebutnya cabe-cabean. Ada juga ani-ani.


Anekdot feminis di atas seakan ingin mempertanyakan di mana keadilan itu. Kesetaraan gender. Kalau laki-laki boleh keluar malam, mengapa perempuan tidak. Namun, saya tidak ingin terjebak dalam pergulatan feminis-maskulis. Saya hanya menjadikannya sebagai pijakan untuk tulisan saya selanjutnya. Mengapa harus adil?


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil berarti (1) sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak; (2) berpihak kepada yang benar; berpegang kepada kebenaran.


Tahun depan, Jakarta punya hajatan, pemilu gubernur. Aroma-aroma anyir persaingan sudah tercium mulai saat ini. Yang berkuasa ingin melanggengkan kekuasaan. Yang ngebet pengin jadi gubernur mulai kasak-kusuk, colek kanan-kiri. Bak sutradara kurang ide, skenario persaingan pun bisa dengan mudah ditebak. Ya itu-itu saja.


Janji kampanye serta visa-misi para calon pun cuma copy-paste. Muaranya adalah pasal kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Atau, dalam hal ini Jakarta. Ditambah bumbu penyedap, kesejahteraan. Lalu, apakah yang adil sudah pasti ideal?


Arti adil, antara lain, tidak berat sebelah, tidak memihak. Sedangkan politik adalah keberpihakan. Sesuatu yang berangkat dari keberpihakan akan melahirkan keberpihakan yang lain. Maka, ’’keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’’ hanya akan menjadi barisan huruf-huruf pemanis halaman kitab negara. Selamanya.


Para seekers of power sepertinya harus mengubah janji kampanye. Mereka tak perlu menjanjikan kepemimpinan yang adil, kota yang berkeadilan sosial. Cukup kasih iming-iming kota yang semestinya kota; kota yang ideal.


Idealnya kota yang akan memilih pemimpin adalah adanya beberapa calon. Munculnya calon tunggal hanya akan mencederai demokrasi. Tidak adil bagi rakyat yang berhak punya pilihan. Dan yang diharapkan, pemimpin terpilih adalah yang tidak terlalu buruk di antara yang lain.


Ahok sebagai petahana tidak boleh hanya ber-stand up comedy. Dia tidak boleh melucu sendiri. Dia harus tergabung dalam lenong Betawi. Harus punya lawan. Entah itu Lulung, Sandiaga, Adyaksa, Eko Patrio, atau yang baru-baru ini, Ahmad Dhani. Itulah yang ideal. Kita sebagai penonton harus disuguhi pilihan. Kita tinggal menertawai yang paling lucu. Terkadang, politik lebih lucu dari dagelan bukan?


Lalu, berpihak kepada yang benar atau kebenaran. Siapa yang paling benar di antara nama-nama di atas yang pantas dipilih? Semua benar di mata pendukungnya, dan adil hanya akan berada di alam ide. Sebuah konsep. Keadilan hanya ada di langit dan dunia adalah palsu, kata Soe Hok Gie.


Kerinduan warga DKI akan kehadiran ’’cahaya’’ harus bisa diobati, sebagaimana Romo Y.B. Mangunwijaya menemukan ’’kecemerlangan’’ pada diri penyair Wiji Thukul. Splendor veritatis. Dalam bahasa Latin, splendor berarti kecemerlangan atau cahaya, sedangkan veritatis berarti kebenaran. Splendor veritatis atau cahaya kebenaran adalah orang yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan pemanusiawian diri.


Nah, ’’pemanusiawian’’ di sini tidak akan pernah bisa disentuh asas keadilan. Contohnya, relokasi warga di permukiman kumuh ke flat. Warga yang tidak mendapat unit akan merasa diperlakukan tidak adil. Di situ, pemimpin bisa dengan mudah dicap tidak adil. Menurut saya, pendekatan yang paling mendekati adalah asas seharusnya atau idealnya. Warga bukan asli DKI yang tidak memiliki sertifikat tanah tentu tidak harus mendapat flat. Idealnya seperti itu.


Pemimpin juga tidak perlu dituntut untuk memberantas segala macam kejahatan hingga akar-akarnya, menumpas korupsi hingga ke kerak-keraknya, dan segala tetek bengeknya. Sebab, idealnya, kota memang memiliki dua sisi yang bertolak belakang, tapi tak akan terpisahkan. Ada kejahatan-kebaikan, kesemrawutan-keteraturan, kemewahan-kekumuhan, dan permasalahan lain yang berkelindan. Ada juga yin dan yang, baik dan buruk, halal dan haram, cantik dan jelek, cinta dan benci, serta aku dan kamu. Iya, kamu. Eaaa


Yang perlu kita tuntut kepada pemimpin hanya meminimalkan yang buruk dan memaksimalkan yang baik. Kalau kejahatan lenyap sama sekali, kasihan polisi harus kehilangan pekerjaan. Hakim iseng bermain palu dan seluruh pengacara eksodus ke dunia entertainment atau melakukan twitwar untuk mengusir kebosanan.


Saya tidak bisa membayangkan jika kota benar-benar kehilangan gairah karena pemimpin –yang secara ajaib– bisa berbuat adil kepada seluruh rakyatnya. Bisa menyejahterakan warganya. Kota akan menjadi hambar. Hidup pasti membosankan karena kita mendapat bagian sama rata-sama rasa. Tidak akan ada cerita pelanggan yang membunuh PSK hanya karena dibilang keringatnya bau busuk. Atau, tidak akan ada lagi sopir metromini yang ugal-ugalan karena alasan ngejar setoran. Para penumpang pun akan mengomel karena tidak ada angkutan buat ke kantor.


’’Gile aje lu pada! Hidup gue udah sejahtera, ngapain narik lagi, bus butut pula,’’ gumam sopir metromini di teras rumah, menyeruput kopi sambil membaca koran pagi. Bayangkan saja seperti itu. Dan, kota pun akan kacau, sebenar-benarnya kacau.


Ketakutan saya yang lebih parah, jika kota sudah menjadi adil dan rakyat sejahtera, adalah tak ada karya sastra. Mampuslah saya. Seorang filsuf pernah berkata, tidak ada sastra dalam masyarakat yang adil.


Jika tak ada sastra, Romo Y.B. Mangunwijaya mungkin tak akan menemukan splendor veritatis pada sosok Wiji Thukul, penyair yang jasadnya ’’muksa’’. Penyair yang karyanya masih sering dipekikkan para demonstran hingga kini. Penyair yang salah satu puisinya disukai presiden kita, Joko Widodo: Peringatan.

….

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!


Thukul bukan produk pendidikan formal yang menjanjikan. Hanya sampai kelas II SMKI jurusan tari (1980). Namun, Thukul adalah ’’anak ketidakadilan’’ yang cemerlang. Kalau hidupmu tidak mudah, keras, penuh tekanan, kejam, dan hampir-hampir kau tak tahu harus berbuat bagaimana, maka menulislah puisi. Puisi akan melembutkan pikiranmu, setidaknya jemarimu sendiri. Melawan dengan puisi. Lewat media bahasanya, sastra mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan (Luxemburg terj. Hartoko, 1989: 5–6). Sastra mengkritik dengan keindahan.


Sebagai buruh, Thukul buruh yang bermartabat. Sebagai sastrawan, dia inspiratif. Saya tidak sedang membenarkan perlakuan pemerintah terhadap fisik Thukul saat itu: menyiksa sampai menghilangkan. Tapi, hal-hal seperti itulah yang membuat Thukul menjadi Thukul yang sekarang; melegenda dengan puisi-puisinya.


Proses kreatif Thukul tentu tidak sama dengan proses menulis Denny J.A., konsultan publik yang ujug-ujug masuk buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Bersanding dengan nama-nama beken seperti W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, dan H.B. Jassin.


Thukul –dan kebanyakan sastrawan lain– yang hidup dalam kondisi prasejahtera, tanpa keadilan, sudah pasti sangat berbeda dengan Denny J.A. yang bisa dibilang sejahtera dan bisa mengondisikan keadilan, setidaknya bagi dirinya sendiri. Sehingga bisa menjadi ’’tokoh berpengaruh’’ tanpa karya yang benar-benar berpengaruh.


Tapi, lagi-lagi, di balik buku itu, ada orang-orang dekat. Bau politik pun begitu menyengat. Seperti yang saya katakan di awal, politik adalah keberpihakan, bukan keberadilan. Secara politis, sah-sah saja nama Denny J.A. terpampang dalam buku tersebut. Tapi, idealnya ya tidak seperti itu. Dengan argumen ini, semoga saya tidak dipanggil pihak kepolisian karena dituduh mencemarkan nama baik Denny J.A., sebagaimana yang dialami Saut Situmorang.

Sastra, kota, dan ke(tidak)adilan adalah satu-kesatuan, tidak harus dan tak akan bisa dipisahkan. Dan, menurut saya, itu ideal.


Kini, bapak dan ibu alien sepertinya harus melakukan studi banding lagi ke bumi, atau lebih spesifik ke Indonesia, boleh juga mengajak anak-anak gadisnya. Dan mempelajari bahwa perempuan yang diharuskan tinggal di rumah daripada dimangsa binatang buas juga ada baiknya. Bukan lagi perkara adil atau tidak adil. Bayangkan jika R.A. Kartini saat itu dibebaskan keluyuran keluar rumah. Mungkin kita tidak akan mengenal Kartini sebagai pahlawan bangsa seperti sekarang.


Kalau sudah puas berkeliling antarpulau, bolehlah mampir ke Jawa, tepatnya di Jakarta. Dan biarkan anak-anak gadis Anda keliling kota dari tengah malam hingga pagi buta, naik Vespa, boncengan tiga. Tapi, jangan diambil hati kalau anak-anak gadis kesayangan Anda dipanggil cabe-cabean. Ya beginilah Jakarta.


Terberkatilah mereka yang lupa, mereka mendapat kebaikan bahkan dari kesalahannya. (*)


Jakarta

27 views0 comments
bottom of page