top of page

Penjaga Malam

SUKRI mati! Dia ditemukan tergolek dingin di kursi. Entah sejak kapan dia mati. Dia ditemukan tak bernapas oleh warga yang hendak salat Subuh di masjid. Banyak warga yang kaget karena tengah malam sebelumnya Sukri masih ngopi bersama beberapa warga lain. Saat itu pun tidak ada tanda-tanda Sukri sakit. Dia masih bisa menikmati kopi dan rokok. Tawanya juga masih renyah meski usianya memang tak lagi muda.

Tak ada yang mengira Sukri mati secepat ini. Ya, siapa memangnya yang bisa mengira kapan malaikat maut tiba? Maut tak bisa dikira-kira. Kita siap-siap saja. Hanya saja, orang yang tak punya riwayat sakit dan tiba-tiba mati terkadang mengagetkan. Kematian Sukri masuk kategori itu.

’’Tak ada lagi Sukri si penjaga malam,” keluh salah seorang warga.

”Kampung ini tak akan punya penjaga malam lagi,” timpal warga lainnya.

Mungkin orang berpikir apa susahnya mencari penjaga malam. Tunjuk saja salah satu warga. Digaji. Kalau perlu diangkat menjadi pengurus RT/RW yang bisa dapat gaji sekalian bonus. Tapi Sukri berbeda. Sukri pria tua istimewa.

Pada sebuah rapat kampung, saat banyak warga menolak menjadi penjaga malam dengan sagala macam alasan, Sukri dengan senang hati berdiri. Dia menawarkan diri untuk menjaga malam. Warga pun sempat melongo dan menyangsikan niat Sukri. Lelaki setua itu. Bagaimana kalau diusili angin malam? Apa iya tubuhnya tidak meriang?

Hanya sebentar. Setelah itu mereka lega karena tidak harus begadang menjaga malam. Mereka bisa tidur nyenyak di balik selimut.

’’Bagus itu, daripada nganggur kan?” celetuk salah seorang warga.

”Hus! Pekerjaanmu apa juga nggak jelas. Menjaga malam juga nggak mau!”

Perempuan di samping orang yang tadi berbicara sewot. Istrinya.

Kampung itu memang tak aman. Banyak yang melapor kehilangan. Tapi, tak ada yang tahu atau memergoki pelakunya. Aparat juga malas melacak. Wong yang hilang cuma barang remeh-temeh. Misalnya, gantungan kunci, pot bunga, sandal, sepatu, dan kadang-kadang kutang dan celana dalam perempuan. Kejadiannya selalu malam.

Meskipun bukan barang mewah, pengutilan dalam bentuk apa pun mengganggu kenyamanan. Karena itu penjaga malam dibutuhkan. Awalnya dibuat jadwal ronda malam. Setiap warga mendapat giliran. Bergantian. Namun, lama-lama mereka menyerah dengan alasan capek karena pagi harus kerja pabrik.

”Saya capek, pagi sampai sore kerja, masak malam nggak tidur,” tolak salah seorang warga yang ditunjuk.

’’Saya kerja pagi, masak malamnya nggak tidur,’’ timpal warga lain.

Di antara mereka sebenarnya ada rahasia yang sama-sama diketahui, namun tak diungkapkan. Ya, mereka tidak mau menjaga malam bukan karena capek atau harus kerja pagi harinya. Tapi mereka sering dikerjai, entah oleh makhluk apa. Setiap waktu keliling tiba, penjaga malam merasa merinding sendiri. Seperti ada yang meniup-niup bulu kuduk mereka. Ada juga yang mengaku –kepada sesama penjaga sendiri– pernah diompolin tuyul. Mereka pun yakin yang mengambil barang-barang di kampung itu bukan maling, tapi tuyul.

Karena itu, warga lega melihat kesediaan Sukri menjadi penjaga malam. Mereka bisa tidur nyenyak di balik selimut, pelukan istri, atau bergumul dengan simpanan-simpanan mereka. Ketika ditanya alasan, Sukri hanya menjawab enteng. ”Saya tidak punya pekerjaan, jadi tak apa-apa menjaga malam.”

Sebenarnya warga tak tega kalau Sukri menjaga malam. Usianya yang renta rawan diserang meriang. Tapi, tekad Sukri yang kuat membuat warga menyerah dan terpaksa tega. Ya sudahlah. Lagi pula, tak ada yang mau menjaga malam selain Sukri.

’’Baiklah, Kek. Nanti soal makan, kopi, dan rokoknya tidak perlu khawatir,” kata kepala kampung. Semua mata tertuju pada orang yang berbicara. ”Itu nanti biar warga yang urunan,” lanjut kepala kampung.

Itu sudah terjadi kurang lebih lima tahun yang lalu. Selama itu pula Sukri menjaga malam. Kekhawatiran warga tidak terbukti. Sukri tetap sehat seperti biasanya. Memang kadang-kadang dia masuk angin. Tapi, dia akan tetap menjaga malam sampai subuh dan besok malamnya dia terlihat sehat kembali. Dia selalu bersemangat menjaga malam.

Warga yang dulu sering kehilangan pot kembang hingga sandal jepit kini bisa tidur nyenyak. Mendengkur di balik selimut. Sementara Sukri akan terus menjaga malam dengan berkawan bulan atau mambang-mambang yang berkeliaran di gang-gang. Tak peduli. Dia akan terus menembang saat bulan terang.

Tak ada yang tahu pasti dari mana asal Sukri. Dia dulu perantauan. Bekerja apa saja yang bisa dikerjakan. Dia kemudian mengontrak rumah kecil. Ketika tua dan tak punya pekerjaan lagi, dia masih diizinkan menempati rumah kontrakan oleh pemiliknya tanpa bayar. Selain kasihan, pemilik rumah belum terlalu butuh untuk menempatinya. Ada yang bilang, Sukri perantau dari Jawa. Itu terlihat dari logat bicara dan juga namanya. Lagu-lagu yang sering dia tembangkan saat jaga malam semakin memperkuat dugaan itu.

Jenazah Sukri telah dimandikan. Tak ada yang tahu agama Sukri apa. Namun, sesuai kesepakatan bersama, jenazah Sukri disalatkan dan pagi harinya dimakamkan di pemakaman kampung. Tak ada juga yang tahu identitas asli Sukri. Jadi, di batu nisannya hanya ditulisi ”Sukri”.

Sepeninggal Sukri, perangkat kampung sering mengadakan rapat untuk mencari pengganti. Tapi, tetap saja hasilnya tak ada yang mau. Rapat yang diadakan dua minggu sekali menjadi diadakan sebulan sekali. Tapi, tak ada yang mau menggantikan Sukri. Rapat-rapat yang ditujukan untuk mencari pengganti Sukri pun berubah menjadi pembicaraan-pembicaraan tentang Sukri.

Berbulan-bulan sepeninggal Sukri, banyak orang yang pernah berhubungan dengan Sukri merasakan hal-hal aneh. Namun, setiap orang yang merasakannya diam-diam saja, tak pernah sekali pun menceritakannya kepada siapa pun. Setiap orang memiliki pemikiran yang sama: jika dia bercerita, tentu akan semakin sulit mencari pengganti Sukri.

Misalnya, Daniel. Saat mengendap-ngendap hendak mencuri ayamnya, dia berpapasan dengan Sukri yang saat itu berkeliling kampung. ”Saya lihat ayammu sudah pulang ke kandang. Ayo ngopi dulu di pos,” ajak Sukri. Daniel pun berjalan di belakang Sukri, menuju pos jaga.

”Di desa, saya pernah maling ayam, burung, dan bebek,” kata Sukri begitu sampai di pos dan menuangkan kopi untuk Daniel. ”Uangnya nggak banyak, Mas. Tapi, rasa bersalahnya begitu menyiksa,” sambungnya.

Daniel yang sudah menyulut rokok hanya diam. Memperhatikan.

”Memang senang melihat anak makan dengan lahap. Tapi, saya merasa hati ini ikut tergigit. Makanan yang dibeli pake uang tidak baik memang lebih terasa di sini, bukan di sini,” kata Sukri dengan menunjuk dada, lalu menunjuk mulut.

Itulah sedikit kenangan Daniel, salah satu pemuda kampung. Setelah Sukri mati, Daniel kadang masih melihat sosok Sukri di pos jaga, lalu lenyap.

Lain lagi dengan Gopur, pria setengah baya yang sering jamaah subuh, yang menemukan Sukri mati. Dia kerap mendengar tangisan dari pos jaga. Dia yakin itu tangisan Sukri. Saat Sukri masih berjaga, Gopur memang sengaja keluar rumah sebelum subuh. Dia menyempatkan sedikit waktu untuk sekadar mengobrol di pos Sukri, sebelum ke masjid. Mereka sering terlibat obrolan menjelang subuh.

”Apa kakek nanti nggak ikut saya ke masjid?” ajak Gopur suatu ketika.

”Mungkin tubuh yang renta ini bisa diajak salat. Tapi, hati ini masih belum bisa, Mas,” jawab Sukri.

”Dijalani dulu, Kek. Nanti juga terbiasa?” bujuk Gopur lagi.

”Kalau hanya menjadi kebiasaan, apa salat masih bisa disebut ibadah? Saya nggak pernah salat di masjid seperti orang-orang, tapi saya masih ingat Gusti Pangeran.”

Obrolan mereka diakhiri dengan suara azan subuh. Gopur beranjak dengan langkah-langkah yang sedikit berat, memikirkan perkataan Sukri.

”Agama itu apa?” tanya Sukri serius pada lain kesempatan.

”Apa-apa yang bisa membuat kakek tenang, itulah agama,” jawab Gopur.

”Saya merasa begitu tenang dan damai saat menjaga malam.”

Lalu, obrolan mereka kembali berakhir saat azan berkumandang. Gopur pun tak pernah mengajak Sukri ke masjid lagi dan membiarkannya menjaga malam.

Pengalaman yang menarik dialami Iman, pemuda kampung yang suka mabuk-mabukan. Bermula ketika meminta rokok, Iman pun tertarik untuk duduk berlama-lama di pos Sukri. Saat itu dia tidak terlalu mabuk. Jadi, dia masih ingat apa yang dia obrolkan dengan Sukri.

”Ramai parkirannya, Mas?” tanya Sukri.

”Ya, begitulah, Kek. Makanya ini tadi bisa minum-minum,” kata Iman sambil mengisap rokok.

”Bukannya kalau nggak ada duit juga minum?”

”Iya, Kek. Tapi, lebih sering banyak duitnya.”

”Enak ya, banyak duit.”

”Itulah kenapa nggak ada yang mau menjaga malam. Gak ada duitnya,” celetuk Iman.

”Tapi, penjaga malam bisa bertemu peri, bertemu bidadari, saat bulan muncul,” kata Sukri dengan melirik Iman. Lelaki yang dilirik kini sedikit bengong. ”Apalagi pas bulan purnama. Mereka turun dari bulan, berselendang sutra!” lanjut Sukri.

”Itu pasti hantu! Ini bukan zaman Jaka Tarub, mana ada bidadari.”

”Itulah bedanya penjaga malam dan bukan penjaga malam.”

Saat itulah Sukri yang dikenal agak pendiam menjadi banyak bicara. Dia mungkin mengira Iman sedang mabuk berat sehingga dia merasa aman bercerita tentang apa saja. Dia terus berbicara tentang peri, menembang, berbicara tentang bulan, lalu menembang lagi, dan terus seperti itu. Saat itu bulan memang sedang merona-meronanya.

Bagi Sukri, malam adalah jalan pulang dalam keheningan dan sepi. Bersua istri dan anaknya yang tidur gelisah dalam penantian. Mungkin juga cucu dan cicitnya yang entah ada di belahan bumi yang mana masih sering rewel dan membangunkan seisi rumah di tengah malam. Itu pun kalau Sukri punya keluarga. Sebagaimana bulan, Sukri seperti sendiri di atap paling rindang ini.

”Itu peri yang kumaksud,” tunjuk Sukri ke atas. Iman yang mendongak tak melihat apa-apa kecuali bulan terang. Sukri kemudian menembang.

Iman yang mulai ketakutan dengan peri yang dimaksud Sukri, lebih-lebih tembang nyiur itu, buru-buru pergi. Sukri tak menghiraukannya. Dia terus menembang. Mungkin peri-peri yang turun dari bulan itu adalah istri, anak, cucu atau cicitnya. Yang ingin mendengar suami, ayah, dan kakeknya menembang pengantar tidur. Sukri bahagia menjaga malam dengan tembang-tembang kepulangan.

Kebiasaan Sukri menambang saat terang bulan juga diamini Hindun, pemilik rumah yang paling dekat dengan pos jaga Sukri. Ketika bulan sedang semringah, sayup-sayup terdengar tembang dari pos jaga. Tembang-tembang yang lirih dan mengiris. Kadang Hindun tak bisa menahan air mata di balik selimut atau di balik ketiak suaminya.

Warga yang hadir di balai kampung kasak-kusuk. Cerita demi cerita tentang Sukri terus diperdengarkan hingga lupa pada agenda utama: mencari penjaga malam, pengganti Sukri. Tapi, setelah cerita-cerita itu, dipastikan tak ada yang mau menjaga malam.

’’Lalu, bagaimana ini, bapak-bapak, ibu-ibu?”

”Saya tidak mau jaga, Pak! Hantu Sukri berkeliaran!” Sahut salah seorang warga.

”Gue juga nggak mau!”

”Saya juga ndak mau!”

’’Apalagi saya, Pak. Ndak mau ah.’’

Semua warga menolak. Kepala kampung pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia juga tidak mau menjaga malam.

”Kita tak perlu mencari pengganti Sukri, Pak,” usul Hindun.

”Kenapa?” tanya kepala kampung.

”Sampai sekarang, jika bulan terang, saya masih mendengar sayup-sayup tembang Sukri,” kata Hindun pada rapat yang entah sudah keberapa itu. ”Sukri masih menjaga malam.”

Sejak pengakuan Hindun itu, rapat untuk mencari pengganti Sukri tak pernah diadakan lagi. Warga kampung juga tak pernah kehilangan barang-barangnya. Mungkin maling-maling tak berani beraksi setelah mendengar kabar tentang kematian Sukri. Atau tak ada maling yang datang karena memang Sukri masih menjaga malam. Tak ada seorang pun yang tahu pasti soal itu. Yang pasti, setiap malam purnama, tidak sedikit warga yang mendengar tembang sayup-sayup dari pos jaga. ¤

 

 

Jakarta, 14 Mei 2014

bottom of page